Pages

Isnin, 7 Januari 2013

HUKUM HISAP ROKOK DAN SHISHA


  • Al'Alim Al'Allamah Syaikh Habib Sayid Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:

    لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ……. والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهةTidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.INTAHA





  •  Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

    إن التبغ ….. فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. …. وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. …Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama’ lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.



  • Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

    القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما

    Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-’Ubab dari madzhab Asy-Syafi’i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama’ dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar’i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.




  • Saqqaf 

    hukum shisha - 2007/11/27 04:02 Assalamu'alaikum ya habibanaSemoga habib selalu dalam lindungan dan limpahan rahmat dan keridhaan Allah.Habib, bagaimanakah masalah hukumnya Shisha (rokok timur tengah). Demikian bib pertanyaan singkat saya. Wassalam| | Silahkan login terlebih dahulu untuk bertanyamunzir 

    Re:hukum shisha - 2007/11/27 16:31 Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    Kebahagiaan dan Kelembutan Nya semoga selalu menyelimuti hari hari anda,

    Saudaraku yg kumuliakan,selama ia merusak kesehatan maka hukumnya haram, jika tidak terlalu berbahaya baginya dan orang yg disekitarnya maka hukumnya makruh, saya belum jelas apakah shisha ini sperti rokok?, karena ia adalah sari bunga, bukan dari tembakau, sedangkan tembakau telah jelas merusak kesehatan tubuh, namun shisha tidak memabukkan,

    Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,

    Wallahu a'lam


  • Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan status hukum rokok. Di dalam Kitab Radd al-Muhtaar, Imam Ibnu ’Abidin rahimahullah menyatakan, ”Pendapat para ulama mengenai masalah ini (rokok) tidaklah seragam. Sebagian ulama berpendapat bahwa rokok hukumnya makruh; sebagian yang lain mengharamkannya, dan sebagian yang lain memubahkannya. Masing-masing menyatakan pendiriannya dalam karya-karya mereka.” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]Masih menurut beliau, ”Di dalam Kitab Syarah al-Wahbaaniyyah karya Imam al-Surunbulaliy , beliau menyatakan, ”Dilarang jual beli rokok dan meminumnya (menghisapnya). Orang yang menghisap rokok di saat puasa tidak diragukan lagi ia telah berbuka. Di dalam Syarah al-Allamah Syaikh Isma’il al-Nablusiy, orang tua dari guru kami, ’Abd al-Ghaniy, terhadap kitab Syarah al-Durari, disebutkan bahwa seorang suami punya hak melarang isterinya memakan bawang putih, bawang merah, dan semua makanan yang menyebabkan mulut berbau…Gurunya guru kami, al-Musayyaraiy dan yang lainnya, memberikan fatwa larangan menghisap tembakau.” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]’Allamah Syaikh ’Ali al-Ajhuriy memiliki sebuah risalah (tulisan) yang membolehkan menghisap tembakau. Di dalam tulisan itu disebutkan bahwasanya orang yang memberi fatwa bolehnya menghisap tembakau bersandar kepada Imam empat madzhab. [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]Ibnu ’Abidin menyatakan, ”Saya katakan, ”Ulama yang juga mengarang tulisan yang membolehkan menghisap tembakau adalah guru kami yang arif, ’Abdul Ghaniy al-Nablusiy. Tulisan itu berjudul al-Shulhu bain al-Ikhwaan fi Ibaahat Syurb al-Dukhaan. Beliau telah menjelaskan dengan sangat baik masalah ini dalam karya-karyanya. Beliau mengkritik dengan sangat keras orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan tembakau. Sebab, keduanya (haram dan makruh) adalah hukum syariat yang harus disandarkan pada dalil. Padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hukum itu. Pasalnya, tidak terbukti bahwa tembakau itu memabukkan, melemahkan, atau membahayakan (dlarar). Tetapi justru terbukti bahwa ia memiliki beberapa manfaat. Hukum tembakau (rokok) masuk dalam kaedah ”al-ashl fi al-asyyaa’ ibaahah” (hukum asal dari benda adalah mubah). Sesungguhnya beberapa dlarar yang terkandung di dalamnya tidak menjadikan keseluruhannya haram. Madu bisa membahayakan orang yang terkena penyakit kuning akut. Seandainya Allah swt menetapkan keharaman atau kemakruhan tembakau, maka pastilah ada dalil yang menunjukkannya. Akan tetapi, jika tidak ada, maka harus dinyatakan bahwa mubah adalah hukum asalnya. Nabi Saw tawaqquf (menahan diri) dalam masalah pengharaman khamer sebagai umm al-khabaaits (induk segala barang yang menjijikkan); padahal beliau adalah musyarri’, hingga turun nash qath’iy pada dirinya….” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]Di dalam Haasyiyyah al-Bajiiramiy disebutkan, ”Jika penguasa memerintahkan perkara-perkara mubah yang di dalamnya terdapat kemashlahatan bagi orang banyak, semacam menghisap rokok, maka, rakyat wajib mentaatinya.” [Haasyiyyah al-Bajiiramiy ’Ala al-Khaathib, juz 5, hal. 475]



  • Di dalam Fatawa al-Azhar, ’Abdurrahman Qaraa’ah menyatakan, ”Menghisap rokok tidak pernah terjadi di masa Nabi saw, Khulafaaur Rasyidin, shahabat, maupun tabi’in. Menghisap rokok terjadi pada masa-masa belakangan. Para ulama berpendapaty pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka mengharamkannya, dan sebagian lagi memakruhkan. Sebagian lagi memubahkannya. Saya (’Abdurrahman Qara’ah) menguatkan pendapat yang memakruhkannya…” [Fatawa al-Azhar, juz 5, hal. 499]Adapun Hasanain Mohammad Makhluf menguatkan pendapat yang memubahkannya. Di dalam Fatawa al-Azhar, beliau menyatakan, ”Kami menyatakan; ketahuilah, sesungguhnya hukum menghisap rokok adalah hukum ijtihaadiy. Pendapat para fukaha dalam masalah ini tidaklah seragam. Yang benar menurut kami adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab Radd al-Muhtaar; bahwa hukum menghisap rokok adalah mubah. Orang-orang yang bersandar kepada imam empat madzhab telah memfatwakan kebolehannya; seperti penuturan dari al-’Allamah al-Ajhuuriy al-Maalikiy di dalam tulisannya.” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]Menurut Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, menghisap rokok hukumnya adalah haram. Di dalam Kitab Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’ disebutkan, ”Menghisab rokok hukumnya haram. Orang yang terlanjur menghisap rokok, ketika hendak masuk ke dalam masjid wajib membersihkan mulutnya untuk menghilangkan bau busuk mulutnya, dan untuk mencegah dlarar dan gangguan bau rokok bagi orang-orang yang sholat. Akan tetapi, menghisap rokok tidaklah membatalkan wudluk.” [Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, juz 7, hal. 282]Demikianlah, para fukaha kontemporer berselisih pendapat mengenai status hukum rokok. Ada tiga pendapat masyhur dalam masalah ini; haram, makruh, dan mubah.Lantas, mana pendapat rajih yang wajib kita ikuti? Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui terlebih dahulu pandangan syariat Islam terhadap hukum asal benda, baru setelah itu hukum-hukum derivatifnya.Hukum Asal BendaPada dasarnya, para ulama sepakat bahwa benda hanya memiliki dua status hukum saja, yakni yakni halal dan haram. Sedangkan hukum atas perbuatan manusia ada lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.Para ulama juga sepakat bahwa hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ”Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’aam (6): 145)Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa tidak ada benda yang diharamkan oleh Allah swt, kecuali benda-benda yang disebut di dalam ayat ini. Hanya saja, karena ayat ini Makiyyah, maka benda-benda yang diharamkan hanya sebatas pada bangkai, darah yang mengalir, babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Setelah itu, Syaari’ menambah jenis-jenis benda yang diharamkan, baik yang disebutkan di dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih; semacam binatang bertaring dan berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain sebagainya.Dengan demikian, ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.Di ayat lain, Allah SWT berfirman:هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (Qs. al-Baqarah (2): 29 )Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal dari benda yang diciptakan adalah mubah, hingga ada dalil yang memalingkan hukum asalnya (mubah)…” [Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 64]قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ”Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (Qs. al-A’raaf (7): 32); dan masih banyak ayat lain yang memiliki pengertian senada.Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami dua hal penting..

Tiada ulasan:

Catat Ulasan